Bisikan Kedua

Kehidupan bukanlah sesuatu yang ada untuk dilawan.

Berbanding terbalik dengan anggapan orang umum jika hukum ada untuk dilanggar, kehidupan memilih sudutnya sendiri dengan aturannya sendiri yang tak seorangpun tahu pasti mengenai hal itu. Kehidupan bebas, tak terikat dan tak terkotakkan oleh apapun, seperti hutan belantara yang tak pernah terjamah oleh manusia.

Namun manusia sering gugup dan tak nyaman menghadapi nilai abstrak dari sesuatu yang terlalu dekat dengan mereka. Manusia-lah yang menciptakan pengotakan, menciptakan ikatan demi mendefinisikan arti dari kehidupan sehingga mereka tak lagi merasa kerdil di bawah lautan bintang, sehingga mereka merasa diri mereka memiliki secuil arti dalam jagat raya yang luas.

Seiring perkembangannya, manusia yang selalu mengatasnamakan kotak-kotak yang telah mereka buat. Hal itu kini dianggap sebagai basis dasar kehidupan, seperti: harus sukses jika ingin hidup tenang, harus menaiki strata sosial yang lebih tinggi lagi, harus mencintai sesama manusia dengan penuh pengorbanan serta segala hal lainnya.

Namun mereka terkadang tidak sadar, bahwa justu hal-hal itu lah yang membuat mereka lupa bagaimana bentuk kehidupan yang sesungguhnya.

Fin seakan mendengar sahabatnya berbisik penuh kekalahan.

Perempuan itu menolehkan kepalanya, menatap lekat sahabatnya selama enam tahun terakhir dengan tatapan menunggu. Dite tampak jelas terpukul oleh sesuatu hingga membuatnya tak sanggup mengatakan apa-apa.

Wajah perempuan sahabatnya itu jelas kehilangan warnanya. Pucat bagai mayat sekaligus kering bagai mumi. Dite hanya memandang nanar ke arah surat yang baru saja dia letakkan di atas meja, hanya itu. Suara nafasnya yang halus terdengar tersendat oleh hentakan pikiran yang baru saja dia alami.

Bagi Fin, Dite adalah suatu puzzle. Bersahabat selama enam tahun tidak membuatnya mengerti bagaimana pola pikir perempuan itu. Apa yang dia mengerti hanyalah sebatas pemikiran-pemikiran terdangkal Dite yang kadang datang dan pergi seenaknya layaknya badai atau angin topan.

Terkadang, perempuan itu bisa menjadi amat sensitif, amat keras serta menyerupai onggokan dendam kesumat yang tak terbalaskan. Namun detik berikutnya, perempuan itu amat sanggup tersenyum manis menyerupai Bunda Maria dengan aura bersinar seperti dalam film. Tulus. Tanpa dosa.

Yang sering dia herankan hanyalah ketahanan Dite untuk menutupi dirinya sendiri di hadapan orang-orang yang tidak disukainya. Dikatakan munafik, pun bukan, jika pendefinisian munafik itu hanya sebatas berlaku berbeda dengan apa yang dikatakan.

Perempuan bernama panjang Aphrodite itu mengatakan suka jika dia suka, tidak jika dia tidak suka dan diam atau sekedar tertawa jika tidak ingin menjawab. Namun emosi-emosinya, luapan kebencian, terganggu, kesal serta kecewa, takkan begitu saja terlihat oleh mata telanjang.

Dari luar, perempuan itu seperti perempuan pada umumnya; rambut hitam shaggy sepanjang dada, muka bulat, bibir tebal di bawah, hidung yang tak mancung serta sepasang mata yang memancarkan keramahan seakan-akan dia akan menerima semua orang apa adanya. Dan memang begitu kasusnya, pikir Fin saat membalas pandangan mata sahabatnya. Seperti itu hingga ada yang membangunkan naga tidur.

Dite merasa kalah.

Di antara ramai percakapan penuh canda tawa yang membahana ke seluruh area kafe, dia merasa ada lubang menganga dalam dirinya sendiri. Pikirannya mampet seperti WC yang tak lagi berfungsi. Otaknya tak bisa mencerna seluruh pemahaman yang datang begitu mendadak seperti peluru sang sniper.

Hanya ada sebuah pertanyaan dalam benaknya, mengapa?

“-Itu lu dapet dari mana?”

Lelaki yang sedari tadi berdiam di sampingnya, angkat bicara. Lelaki itu menatap langsung ke arah perempuan bernama Fin, yang duduk dengan wajah kusut masai serta kedua tangan menyilang di dada. Ekspresi keduanya nyaris sama; bingung, penasaran, khawatir sekaligus tak percaya. Seolah mereka baru saja melihat seseorang yang bangkit dari kubur dengan mata kepala mereka sendiri.

Ada sebuah pemahaman yang terucap di sana, saat tatapan mereka berdua bertemu. Bukan sebagai lawan jenis, namun sebagai sesama manusia yang mengerti makna tersirat dalam surat itu. Kekhawatiran mereka terlihat jelas dari ketidaknyamanan posisi duduk mereka, kekhawatiran serta perasaan lain yang tak bernama. Sebuah perasaan penuh dengan kenegatifan yang takkan pernah dimengerti oleh orang selain mereka bertiga.

Fin menyambar bungkus rokok yang ada di meja, mencoba menenangkan kekalutannya dengan membakar sebatang dan menghisap benda beracun yang sesungguhnya tak baik untuk kesehatan itu. “Gua ngedapetin itu di depan pintu rumah gua waktu mau ke sini tadi.”

Lelaki itu menelengkan kepalanya, berpikir. “Berarti, siapapun yang kirim surat itu, tahu rumah lu di mana.” Tambahnya dengan suara semakin menghilang.

“Itu yang bikin gua kesel,” perempuan itu menghembuskan asap rokoknya dengan ekspresi siap menghancurkan seantero kafe. “Siapa yang tahu soal player dan tahu rumah gua kecuali lu berdua? Nggak ada.”

Dite tetap bungkam.

“Dan surat ini bilang, semoga kewarasan gua masih ada walau gua kelamaan ada di lumpur hisap. Yang gua ceritain soal kehidupan gua dari A sampe Z ya cuma Dite, dan akhir-akhir ini ketambahan lu.” Fin melanjutkan. “Nggak ada yang lain.”

Dari mana semua ini bermula? Pengotakan yang telah Dite lakukan tanpa sadar untuk mendefinisikan kehidupan kini menghasilkan belenggu super ketat hingga dia tak lagi dapat bergerak. Dia menatap kosong ke arah surat itu, merasa seperti ditampar untuk bangun dari alam mimpi.

Mimpinya.

Semua bermula dari sepotong mimpi, yang selalu dia simpan rapat-rapat agar tak seorangpun yang tahu. Orang mungkin bisa menduga, tapi tak seorangpun tahu dengan jelas hingga dia mengatakan hal itu keras-keras. Dan kini dia tengah berupaya menelan bulat-bulat semua peluru yang hendak dia muntahkan. Buah pemikirannya. Eksistensinya.

“Lu nggak berpikir gua yang ngirim, kan?” Lelaki itu bertanya pada Fin, yang menggeleng perlahan.

“Gua nggak tahu. Gua nggak tahu lu tadi kaget beneran apa nggak. Gua nggak tahu, apa lu sengaja ngelakuin ini ke gua dengan niat lain atau sekedar iseng. Gua nggak bisa tahu mengenai orang lain dengan pasti, apalagi orang itu juga player sama kayak gua, Tiyo.” Perempuan itu menjawab dengan nada final.

Player. Satu dari tiga pengotakan yang dibuat oleh Dite. Sebuah kata, yang dia gunakan untuk mendefinisikan seseorang, saat orang itu sanggup memanipulasi kehidupannya sendiri sekaligus kehidupan orang-orang di sekelilingnya.

Dia yang bernama Tiyo hanya tersenyum tipis menanggapi kata-kata perempuan itu. Antara menerima atau terlalu lelah untuk menyanggah, lelaki itu hanya meraih sebatang rokok dari bungkus yang dia bawa dan menyalakan benda itu dengan pematik api yang sanggup ditemukan di convenient store manapun.

“Ini pikiran logis gua,” Fin kembali berucap. “Secara logika gua, cuma lu suspect-nya. Dite nggak mungkin, gua tahu pergerakan dia seminggu terakhir ini. Lagian, dia nggak punya alasan buat ngirimin gua surat kaya’ gini.”

“Dan kalau gua, ada alasannya?” imbuh Tiyo sembari memalingkan tatapan. Mungkin geli. Atau merasa terhakimi.

Perempuan di hadapannya mengendikkan bahu, “gua udah bilang: gua nggak tahu.”

Jawaban logis dari Fin. Seperti biasa. Sejauh yang sanggup diharapkan dari perempuan bernama Fin. Logika, yang selalu menyelamatkan hidupnya, terjunjung tinggi melebihi langit. Wajar adanya, pikir Dite, karena hidup sahabatnya itu telah mengecap terlalu banyak kepahitan. Berapa banyak ‘cinta’ yang harus dirasakan seseorang hingga akhirnya hal itu membuatnya hancur?

Cinta memang bisa menghancurkan siapa saja, kapan saja, dengan cara apa saja.

Bukan karena cinta itu memang mengerikan, tetapi karena sifat manusia yang bernama obsesi. Dan Dite amat mengerti, sahabatnya yang terpaut empat tahun lebih muda darinya itu terlalu terburu-buru menghakimi cinta dengan situasi serta kondisi yang tidak pas hingga sebuah lubang menganga dalam diri perempuan itu. Lubang yang hanya bisa dilupakan dengan sebuah logika murni.

Meski mengerti, Dite merasa harus angkat bicara.

“Sebentar,” perempuan itu memotong, membuka matanya yang sedari tadi tertutup. “Walau gua paham jalan pikir lu, dengan penuh penyesalan gua bakal bilang itu nggak mungkin. Kapan terakhir kali lu atau orang di rumah lu buka pintu depan? Kalau jawabannya sejam yang lalu, udah jelas bukan Tiyo. Dia di sini sama gua sejak jam tujuh dan itu udah satu setengah jam yang lalu.”

Dipandangnya sahabat perempuannya yang tampak berpikir keras, “iya sih.” Fin akhirnya mencapai konklusi. “Iya, gua tahu walau gua bilang suspect-nya Tiyo, hal itu nggak mungkin. Pintu rumah cuma gua tutup sekitar sepuluh menitan, itu juga karena nyokap gua yang nutup. Dan kalau ada motor atau orang jalan, gua pasti kedengeran.”

“Kecuali orang itu ninja,” imbuh Dite sembari menyeringai. Dilihatnya Tiyo ikut-ikut menyeringai mendengar sahutannya, sementara Fin memandangnya sinis setelah memutar mata. Kacau, otaknya sedang kacau karena lubang yang menganga, tapi Dite takkan mengatakan hal itu pada siapapun. Bahkan kepada Fin sekalipun. “What?” tambahnya dengan nada setengah bercanda, setengah malas.

“Oh, wong kok sehat.” Lelaki di sebelahnya mengomentari sembari menghancurkan puntung rokoknya pada asbak yang berada di tengah meja.

Dite memutar kepalanya dengan malas ke arah lelaki itu, seringainya sukses bertahan akibat reaksi yang sanggup membangkitkan jiwa jahil separuh sadis dalam dirinya. “Sehat, Mas?” lanjutnya, menekankan pada kata terakhir karena tahu Tiyo pernah memprotesnya habis-habisan saat dia kekeuh memanggil lelaki itu dengan sebutan ‘Mas’.

Lelaki itu tak mengecewakannya, ekspresinya menjadi penuh keprihatinan layaknya orang yang baru saja menyecap rasa asam sekaligus basa luar biasa saat menyeruput minuman. “Alhamdulillah, sehat, Mbak. Sehat banget malahan!”

Dite mengangguk-angguk dengan ekspresi like a boss dalam meme yang beredar di dunia maya. “Bagus, bagus,” gumamnya geli menanggapi sarkasme lelaki itu. “By the way, Fin, dalam otak gua yang tahu nama alias lu ada sekitar sepuluh orang.” Dia mengangkat kesepuluh jarinya agar sahabat perempuannya itu dapat mengikuti. “Lima anak Watty,” dia menekuk kelima jari kirinya. “Dua lagi mantan gua, terus Felisia, Deny dan yang terakhir Tiyo.”

Hening.

Fin mengedipkan matanya berulang kali, “terus?” tanyanya tak mengerti.

Lama, Dite hanya menyeringai. “Ini suratnya gua bawa aja,” dipungutnya surat beserta amplopnya dengan penuh kehati-hatian tanpa menunggu jawaban dari penerima surat; membiarkan pertanyaan perempuan itu mengambang di udara serta mengabaikan pandangan lelaki yang kini tertuju padanya. “Gua mendadak kangen Deny. Kira-kira kalo gua Line gimana, ya?” gumamnya, lebih ke arah diri sendiri.

Fin mengernyitkan dahi, “kangen Deny? Tumben amat lu kepikiran buat ngehubungin dia duluan.” Tambahnya dengan heran. Nama itu membuatnya teringat sosok lelaki dengan tinggi rata-rata dan wajah baby face yang sempat mengisi kisah asmara sahabatnya meski hanya satu bulan. Dan dalam satu bulan itu, Dite tampaknya mengalami apa yang sering disebut-sebut sebagai cinta sejati meski kebenarannya masih menjadi misteri.

Deny-lah yang membuat Dite sadar bahwa menjadi gamer sama sekali tidak menarik. Dan perempuan itu berkeras untuk mengabaikan fakta bahwa Deny sudah berstatus ‘mantan’ dengan alasan bahwa hubungannya bersama lelaki itu memiliki makna yang lebih dalam; mengabaikan banyaknya sakit hati yang tertoreh karena sikap Deny yang angin-anginan.

Gamer, istilah lain yang dibuat Dite bagi mereka yang ‘bermain’ dalam ranah perasaan.

Sebagai sahabat, Fin paham bahwa dia tidak berada dalam posisi di mana dia bisa mencuci otak perempuan itu seenak jidat – dia juga takkan suka jika sahabatnya mendadak ikut campur begitu saja, seberapa besarpun keinginan dia untuk diselamatkan. Sebagai manusia, dia juga sadar bahwa dia tidak berhak mencampuri hubungan Dite dengan Deny.

Itu sebabnya dia hanya mengikuti apa yang dikatakan perempuan itu dan mengabaikan ucapan janji-janji sahabatnya untuk tak bertemu lagi dengan Deny hanya karena emosi sesaat, tahu bahwa hal itu hanyalah dusta belaka. Meski dia merasa sahabatnya itu tolol luar biasa, dia toh tetap akan membela dan mendukung sahabatnya itu, serta menjaganya jika sudah terlalu kelewatan.

Itu jika dia sendiri sedang baik hati.

Lain halnya dengan Tiyo. Lelaki itu hanya mengawasi kedua perempuan di sampingnya bercakap-cakap sementara dia hanya diam dan memutar otak. Perasaan penasarannya terusik oleh surat yang diterima Fin. Firasatnya sudah membunyikan alarm siaga dengan menyajikan potongan kejadian di mana dia akan menerima surat serupa. Entah kapan.

Dia memang terlahir seperti itu. Entah sejak kapan, Tiyo menyadari kemampuannya yang kadang bisa amat membantunya itu – sixth sense, begitu orang-orang di sekelilingnya menyebut kemampuan dia mengetahui sesuatu yang belum terjadi, atau akan terjadi. Meski begitu, dia sendiri tak dapat mengontrolnya, kemampuan itu datang dan pergi seenaknya. Meski lumayan berguna, dia juga kadang sebal dengan fakta itu.

Tapi kemampuannya, serta takdir yang ditulis oleh Yang Maha Esa, yang membuatnya bisa bertemu dengan Dite serta Fin. Walau tidak bisa dia pungkiri bahwa rasa senangnya lebih berat ke arah perempuan bernama Dite, Tiyo tetap merasa senang dengan kehadiran dua perempuan di hadapannya saat ini. Paling tidak, kehadiran mereka mampu membuatnya kembali merasa hidup.

Sudah berapa lama dia tidak merasakan hal itu. Hidup, benar-benar hidup dan sadar sepenuhnya. Bukan lagi melewati hari demi hari seperti zombi atau setengah sadar. Kehadiran kedua perempuan itu mendewasakannya dengan berbagai cara, meski kebanyakan waktu dia hanya berperan sebagai korban bullying.

Tragis, mengingat skripsinya membahas tentang bullying dan bagaimana cara mengatasi hal itu.

Tetapi dia tidak keberatan, selain dia merasa didewasakan dengan kesemerawutan kedua perempuan itu, dia tidak pernah kehilangan senyum perempuan bernama Aphrodite. Yah, bagaimana juga, dia tetaplah manusia, laki-laki yang tertarik dengan perempuan, lebih tepatnya laki-laki yang tertarik dengan Dite beserta seluruh masa lalu kelam milik perempuan itu.

Ya, sebenarnya tidak terlalu kelam juga, sih. Menyakitkan, memang. Kelam? Masa lalunya masih lebih kelam dibandingkan masa lalu perempuan itu. Tapi, tak ada gunanya menyatakan hal itu pada Dite. Ungkapan bahwa usia juga yang mendewasakan seseorang memang tidak bisa dihapuskan begitu saja.

Sayangnya, Dite sering kali salah paham dengan niat baiknya.

Perempuan itu sering dengan sengaja serta semena-mena memberinya label ‘mesum’ saat dia tidak berpikir apa-apa sewaktu memandang perempuan itu lekat-lekat. Padahal ia hanya sekedar mencari petunjuk mengenai apa yang tengah dipikirkan oleh Dite.

Rasa tertariknya karena keunikan sesosok Dite sering kali disalahpahami dengan label bahwa dia adalah ‘laki-laki’. Diprotes pun percuma. Dite itu tipe keras kepala meski sering menampilkan wajah lembut dan open-minded.

Padahal yang dia inginkan tak lebih dari berkembang bersama dengan kedua perempuan itu ke arah yang lebih baik lagi. Sayang, tembok perlindungan diri kedua perempuan itu masih terlalu tinggi, dan dia tidak berhak untuk meruntuhkan pemikiran keduanya.

Jelas saja. Siapa dia? Hanya seseorang bernama Tiyo yang terpaut setahun lebih tua dari Dite dan lima tahun lebih tua dari Fin. Hanya seseorang bernama Tiyo yang mengambil jurusan Pendidikan Bimbingan Konseling dan sedikit mengerti tentang seluk beluk manusia. Hanya seorang yang dinilai sebagai ‘orang aneh yang setara’ oleh kedua perempuan itu dalam kelompok kecil mereka.

Tetapi, berharap tidak ada salahnya, kan? Lagipula, dia bukan tipe lelaki lembek yang mudah menyerah karena hal sepele seperti itu.

Tawa Dite memecah konsentrasinya. Lelaki itu berkedip dan mengarahkan perhatiannya pada Dite yang terbahak-bahak tanpa sebab jelas. Bukan, bukan tanpa sebab juga. Telinganya belum tuli dan dia masih sempat mendengar kedua perempuan itu terlibat dalam diskusi saling ejek yang mengalir begitu saja.

Firasatnya mengatakan, sebentar lagi gilirannya untuk menjadi korban.

Ingin dia bersumpah dalam hati untuk tidak ikut campur agar tidak menjadi pihak yang di-bully, tapi tahu bahwa itu percuma; tahu seberapa besar rasa penasarannya sendiri. Jadi, tanpa menahan diri, mulutnya segera melontarkan pertanyaan. “Apa, sih?”

Dite menyeringai geli ke arahnya, bersamaan dengan Fin yang tertawa dibuat-buat. “Nggak apa-apa, Mas.” Perempuan itu menjawab, masih dengan suara bergetar menahan tawa. “Cuma lagi ngobrolin betapa manusia itu bisa konyol luar biasa, kok. Kaya’ seseorang yang tahu kalau sebenernya dia nggak bisa jadian sama orang lain tapi tetep ngejar orang itu.”

“Itu elu, geblek!” sahut Fin separuh sadis. Tiyo hanya sanggup memasang ekspresi sedatar yang dia bisa, setengah karena paham pembicaraan kedua perempuan itu, setengah lagi karena merasa tidak perlu mengomentari apa-apa. Sepersekian lainnya tahu kalau Dite baru saja menyindirnya.

Sering Tiyo merasakan dorongan untuk menjulurkan tangan untuk mengocok otak perempuan itu yang sepertinya kurang sesekop, supaya Dite mengerti bahwa yang dia rasakan bukan sekedar nafsu belaka. Cinta pun bukan. Perasaannya kepada perempuan itu melebihi cinta kepada lawan jenis, bukan juga sekedar nafsu, namun lebih luas dari pada itu.

Seandainya Dite bisa memahami hal itu, dia pasti akan segera menggelar acara pengajian serta syukuran semalam suntuk.

I’m not that stupid!” sanggahan Dite datang terlalu cepat. Jelas memberi peluang bagi Fin untuk lebih mengejek gadis itu. Tetapi jika dipikir lebih dalam, memang itu tujuannya. Lelaki itu mengenali pola Dite, yang mau-mau saja dijadikan samsak hidup dalam hal saling ejek demi memeriahkan suasana saat mood-nya tidak sedang kacau.

Dan saling ejek itu pun kembali berlanjut. Tiyo hanya mendengar, tertawa saat merasa kata-kata kedua perempuan itu lucu, menambahi saat dirasa perlu dan menelengkan kepala melihat kelakuan mereka berdua yang bisa tiba-tiba berubah menjadi sepasang kekasih tengah kasmaran.

Biasa, memang, tapi menarik untuk ditonton. Terlalu menarik untuk dilewatkan begitu saja, tapi masih terlalu biasa baginya.

“-Tiyo, tuh, yang gaje!” sembur Dite ditengah pernyataan pembelaannya, setelah beberapa saat. “Gara-gara dia kan gua jadi mikirin yang aneh-aneh.”

Alarm dalam kepalanya seketika berbunyi nyaring. Alert, alert, alert, dangerous situation is right ahead you. “Kok gua, sih?” lelaki itu berujar, tidak terima. “Gua nggak ngomong apa-apa, ya, dari tadi.” Defend yourself quickly.

Dite meliriknya, berpura-pura sebal. Meski begitu, kedua manik mata perempuan itu berkilat dengan rasa jahil yang terlalu kentara. “apa, nggak ngomong apa-apa? Gara-gara lu ngomong mesum, gua jadi kepikiran mesum juga.”

“Eh, kapan gua ngomong kaya’ gitu?” dia membalas, bingung dan tak terima. “Gua kan cuma bilang kalo misalnya omongan kalian itu menjurus. Kalo lu jadi mikir mesum, kan bukan salah gua, kali. Lu-nya aja yang emang mesum.”

“Eh, nggak bisa, bro.” Fin ikut berbicara. Rona wajah perempuan itu licik teramat sangat. “Cowok itu udah ditakdirin buat mikir mesum, tau. Menurut penelitian, cowok mikir seks sembilanbelas kali dalam sehari. Mau ngomong apa, lu?” tambahnya sembari tertawa tertahan.

Kan? Dia jadi korban bullying lagi.

“Ngaco,” potong Tiyo yang tidak terima. “Lu ngambil hasil studi itu cuma sebagian kecilnya doang. Studi itu juga bilang kalo misalnya cowok mikirin kebutuhan biologis lainnya lebih banyak daripada cewek, jadi pikiran cowok nggak melulu soal seks. Gantian gua yang tanya, emang lu nggak pernah mikir soal seks?”

“Nggak setiap hari,” elak Fin lihai sembari menyeringai. “Dan yang pasti nggak sebanyak lu.”

Lelaki itu mendengus geli, “tetep aja artinya lu juga mikir soal seks. Studi yang sama juga bilang kalo misalnya cewek mikir seks tiap harinya sebanyak sepuluh kali, nggak jauh beda kan sama cowok? Kalo intinya lu bilang gua mesum, gua juga bakal bilang lu mesum melalui studi itu.”

“Sudah, sudah.” Ujar Dite menengahi debat kusir yang tak jelas itu. “Udah malem, nih. Pulang, yuk? Lu jadi nginep di tempat gua?” tambahnya sembari menoleh ke arah perempuan bernama Fin. Perempuan berambut sepanjang punggung itu mengangguk kecil lalu berdiri dari kursinya bersamaan dengan Dite. “Ayo pulang, Mas.”

“Yuk,” Tiyo menanggapi kata-kata perempuan itu dengan berdiri sembari menyanding tas ransel kesayangannya. Tangannya terangkat otomatis untuk membenahi kacamata kotak yang bertengger di hidungnya. Minus tiga membuatnya merasa keberadaan benda itu adalah sebuah anugrah.

Bersama Fin dan Dite, dia berjalan menuju parkiran motor, setelah menemani sang Aphrodite melenggang menuju kasir untuk membayar semua tagihan minuman mereka dan melakukan pemaksaan untuk membayar bagiannya sendiri.

Bagaimanapun, dia laki-laki dan laki-laki yang bertanggung jawab baginya masih merupakan laki-laki yang sanggup sekedar membayar minumannya sendiri. Walau, kadang, dia amat kesusahan mempertahankan ide itu dalam kepala Dite. Perempuan itu keras kepala luar biasa dan gampang merasa tersinggung dengan idenya untuk sekedar menjadi lelaki bertanggung jawab.

Memang, perihal masalah uang, dia kalah dengan perempuan itu. Tapi itu bukan, dan takkan pernah, menjadi alasan baginya untuk membiarkan Dite membayar, kecuali dia memang sungguh-sungguh terjepit.

“Hati-hati!” serunya sembari melambaikan tangan sebelum berjalan santai menuju motornya sendiri. Sekilas dilihatnya Dite melambaikan tangan membalas salamnya dan itu membuatnya tersenyum kecil di balik masker penutup mulut yang dia kenakan.

Mungkin, untuk malam ini, masalah surat itu sanggup dia kesampingkan. Dengan pemikiran itu, Tiyo menyalakan motornya dan melaju menembus kegelapan malam beserta dinginnya angin yang sanggup membuat orang sakit.

 

Perjalanan selama setengah jam melewati jalur bebas hambatan membuatnya menggigil saat akhirnya berhasil memarkirkan motor di garasi rumahnya. Lelaki itu melepas helm beserta slayernya dengan kelegaan tinggi, “Asalamualaikum!” serunya, lebih ditujukan pada penghuni rumah itu daripada tembok putih di hadapannya.

Hanya terdengar keretak halus dari arah rumahnya. Kedua alis lelaki itu bertaut. Suaranya kurang kencang atau memang orang-orang rumah mendadak perlu membersihkan telinga? Sembari membenarkan posisi kaca mata, Tiyo membuka pintu yang menghubungkan bagian dalam garasi dengan ruang duduk rumahnya.

“Asalamualaikum. Buk?” Lelaki itu menoleh-noleh dengan bingung. Rumahnya lengang sekaligus terasa asing, seakan-akan dia baru saja memasuki sebuah setting opera sabun yang dibuat mirip dengan rumahnya sendiri. “Risa? Sefi?” Tiyo berseru, memanggil nama kedua adiknya.

Tak ada jawaban.

Lelaki itu semakin bingung. Ayahnya memang mendapat giliran jaga malam, jadi lelaki itu pasti sudah berangkat ke kantornya. Tetapi ibu serta kedua adiknya seharusnya sudah ada di rumah sejak pukul delapan, padahal sekarang jam sepuluh, pikir Tiyo tak habis pikir. Kalau memang mereka pergi, dia pasti sudah mendapat pesan, tapi ini tidak ada pesan sama sekali. Ke mana orang-orang?

Dia memutuskan untuk berjalan menyusuri sudut-sudut rumahnya. Satu demi satu ruangan di rumahnya, disusurinya dengan seksama. Ruang tamu, ruang makan, dapur, teras belakang, kamar orang tuanya, kamar adik-adiknya; tak ada tanda-tanda kehidupan apapun di rumahnya. Hanya desau angin yang sesekali terdengar melalui celah ventilasi.

Hal itu membuat bulu kuduknya berdiri. Dia sudah kembali berada di ruang duduk, termanggu di salah satu kursi dengan pikiran yang berputar lebih cepat dari pada gasing. Lelaki itu merogoh saku celana jeansnya, memutuskan untuk menelpon ponsel kedua orang tuanya. Mungkin, mereka lupa untuk mengabarinya atau apa.

 

Sepuluh menit penuh dia mencoba menelpon, tapi tak satupun dari kedua orang tuanya menjawab. Jantungnya mulai berpacu cepat, teringat terakhir kali saat dia mengalami hal itu adalah saat ibunya tiba-tiba jatuh sakit. Keringat khawatir seketika membasahi telapak tangannya. “Tolol!” dia memaki diri sendiri lalu bangkit berdiri, baru tersadar bahwa memiliki tetangga yang mungkin tahu.

Baru saja Tiyo hendak berjalan menuju pintu depan saat sebuah suara terdengar dari kamar tidurnya.

Kontan lelaki itu terlonjak kaget. Shit! “Siapa?” serunya dengan debar jantung yang tak karuan. Beberapa detik dia berdiam diri, menajamkan telinga untuk menangkap bunyi apapun. Tetapi, lagi-lagi dia tidak mendapat jawaban. Mulai jengkel, Tiyo memutuskan untuk memeriksa kamarnya.

Tidak ada siapa-siapa di sana.

Tiyo memandang ke arah jendelanya yang berteralis besi dengan dahi berkerut. Sejak kapan jendela itu terbuka? Jendelanya menghadap ke bagian depan rumah, dan jika ingatannya benar, jendela itu belum terbuka saat dia datang tadi.

Perhatiannya teralih ke arah kasur. Ada sesuatu di atas kasurnya, sesuatu yang masih membekas di ingatannya. Secarik amplop kecil dengan sebuah tulisan bertinta biru kehitaman khas ballpoint murahan.

Lelaki itu bergegas menyambari amplop itu dengan penasaran serta rasa tak percaya yang tercelup oleh ngeri. Hanya ada sebuah nama yang tertera di sana; nama yang diberikan Dite padanya; nama yang hanya berlaku di kalangan mereka bertiga; nama yang tak pernah dia beri tahu pada siapapun, bahkan keluarganya.

To : Leith

Dengan ngeri, dibukanya amplop itu. Apa yang berikutnya dia lihat seketika membangkitkan amarah laki-laki itu.

“BAJINGAN!”

***

“Suratnya lucu.”

Kening perempuan bernama Fin berkerut mendengar ucapan sahabatnya.

Saat ini dia sudah tiba di rumah Dite dan tengah merebahkan diri pada lantai beralaskan karpet tipis sembari melanjutkan tulisannya menggunakan laptop sahabatnya. Dite sendiri tengah tidur-tiduran di kasurnya bersama seekor kucing kesayangan yang diberi nama Reo.

Jika teringat asal-usul nama kucing Persia hitam itu, Fin rasanya ingin menggelengkan kepala tak habis pikir. Reo bukanlah nama yang keren jika siapa saja tahu asal-usul nama kucing itu. Simply karena Dite melihat merk biskuit dengan selai vanila yang verada di rak convenient store, perempuan itu langsung memutuskan untuk menamai kucingnya dengan nama ‘Reo’ dan imbuhan O di depan sebagai nama panjang.

“Lucunya?” dia bertanya sembari sedikit menoleh ke arah sahabatnya. Dite tengah merebahkan diri sembari membaca ulang surat misterius yang malam ini diterima oleh Fin. Surat itu diarahkan kepada lampu belajar yang berdiri di atas nakas di samping tempat tidur.

Dite tertawa kecil, “sekali tulis langsung selesai. Tulisannya lurus plus rapi. Tapi kalo dilihat di bawah lampu ada bekas tekanan garis di bawah tulisannya. Kayaknya, siapa aja yang nulis surat ini, pake garis bantu deh.”

“Hoh.”

Dite menoleh ke arah sahabatnya yang hanya bereaksi sekenanya saja. “Udah nggak tertarik?” tanya perempuan itu sembari mengembalikan lembaran surat ke dalam amplopnya. Fin terlihat menggeleng kecil, lalu kembali tenggelam dalam dunia yang dia tulis. Dite mengendikkan bahunya, “gua tidur, ya,” ujarnya lalu bergelung di dalam selimut.

 

Suara dering bel mengguncang kesadaran perempuan itu.

Dite mengernyit dalam tidurnya lalu membuka mata perlahan. Kasurnya yang langsung menghadap ke arah jendela memungkinkan perempuan itu untuk langsung mengenali kondisi di luar rumahnya. Terasa sinar matahari yang berusaha dengan keras menembus tirai biru kesukaannya, dan melihat itu membuat dia paham jika matahari sudah nyaris berada di titik tertingginya pagi itu.

Dite mengerjap sekali lagi saat menangkap suara dering yang hanya sanggup berasal dari bel rumahnya. Ada tamu, sebuah suara dalam kepalanya membuat perempuan itu seketika bangun dan berlari ke kamar mandi untuk mencuci muka.

Dia berlari keluar dari kamarnya karena mengenali dering bel rumah yang dipencet dengan tidak sabar. “Ya!” perempuan itu berseru sembari gelagapan mencari kunci rumah. “SEBENTAR!” teriaknya, mulai jengkel dan mulai menyumpahi tamu yang tak dia tahu dengan serentetan kata tak santun.

Dengan kasar, perempuan itu membuka pintu depan. “Ya!” sentaknya jengkel.

“-Apa benar ini rumah Bu Lastri?” terdengar suara dalam yang membuat Dite memandang tamu di hadapannya.

Apa yang dilihatnya seketika membuat perempuan itu membeku.

Tinggalkan komentar