Arsip Tag: thoughts

Jones

Duduk bersebelahan. Hujan menggempur tanah dengan tetes-tetes mereka. Turun begitu kencang. Begitu deras. Begitu… kejam. Membasahi bumi yang sudah basah. Menggenangi tanah yang sudah tergenang. Meluapi sungai berkapasitas kecil dengan eksistensi mereka.

Dalam pikirnya, dia bertanya apakah hujan pernah mempertanyakan eksistensi mereka. Waktu senggang saat mereka tidak berperang dengan angin, apa yang mereka lakukan? Apakah mereka bersenda gurau dengan satu sama lain dalam bentuk senyawa yang sudah diteliti oleh para ilmuwan sejak jaman dinosaurus telah punah dan amuba menguasai daratan, sementara planet-planet sibuk berotasi dan berevolusi seenak jidat mereka sendiri?

Sementara, yang disebelahnya sibuk gugup tentang pementasan yang akan dia jalani nanti malam. Sibuk memikirkan panggung yang terlalu kecil dan apa yang harus diimprovisasi. Dia melirik ke sebelahnya, yang malah tanpa sengaja menggeser meja hanya untuk ditarik lagi.

Gaje, batinnya. Dunia ini terlalu gaje. Termasuk mereka berdua.

Obrolan sudah mati, digantikan derasnya suara hujan dan lantunan melodi dari pengeras suara kafe itu. Kafe yang sama dengan tempat si pemilik buku bersenda gurau dengan temannya, si pecinta animasi. Mereka berdua baru saja berceloteh riang gembira soal 16 tipe kepribadian menurut Mayer-Bringer yang banyak ditemukan di mesin pencari. Mungkin, nyocot sampai berbusa adalah kata yang lebih tepat.

Dan mereka baru saja selesai membahas kejonesan salah satu dari mereka. Memang, sih, memelas sekali rasanya menjadi jomblo selama 6 tahun 10  bulan–atau mungkin lebih. Manusia seperti apa, yang bertahan tanpa pasangan sampai selama itu? Hanya jones murni, mungkin.

Dan si jones baru saja melakukan aksi protes percuma, yang tidak bisa menghentikan celaan itu. Mungkin mereka bahagia dengan celaan soal jones karena mereka berdua sama-sama jomblo–walau yang satuya lebih mengenaskan daripada yang lain.

Dan derasya hujan seolah merayakan kejombloan mereka berdua. Pun, sampai cerita ini ditulis, nasib si jomblo dan si jones sepertinya tidak akan berubah sampai beberapa jam selanjutnya.

Manusia Memang Absurd

Sebuah buku tergeletak di samping notebook-nya. Buku dengan tema berat dan berhias pembatas warna-warni di sejumlah halamannya. Jika tiap lembar terbuka, buku itu akan menampilkan coretan si pemilik yang digores menggunakan ballpoint dengan tinta murahan–agar tidak menembus, katanya.

Sementara si pemilik buku sendiri tengah sibuk dengan notebook berlayar 10 inci yang memancarkan sinar terang. Sesekali, si pemilik buku menurunkan tingkat keterangan cahaya layar notebook-nya dengan kesal, hanya untuk menaikkannya kembali beberapa saat kemudian. Ketukan keyboard-nya menggema jelas, sementara langit di ufuk barat semakin menggelap seiring waktu. Matahari telah menuju ke sisi lain bumi. Meninggalkan langit yang kini berhias iring-iringan awan mendung tanpa niat menurunkan hujan.

Di sebelah si pemilik buku, temannya sibuk menonton sebuah animasi dari negeri sakura sembari tanpa henti mengecek ponselnya yang sibuk berdering. Si pemilik buku dan si pecinta animasi. Duo bagus sekaligus awkward hasil lelucon takdir yang seringnya ironis.

Si pemilik buku sesekali melirik ke arah layar laptop temannya, menikmati cuilan animasi-animasi remaja yang tengah ditonton oleh si pecinta animasi. Kadang, tawa si pecinta animasi membuat tangannya gatal untuk menciumkan dasar gelas ke kepala temannya. Seringnya, dia ingin menghantamkan kursi ke tubuh yang katanya mengurus satu kilogram itu. Sayangnya, dia belum ingin menodai kafe ini dengan adegan berdarah-jadi ditahanlah keinginannya itu.

Sibuknya si pecinta animasi akhirnya mengalihkan perhatian si pemilik buku dari hal yang sedang dia kerjakan. Si pemilik buku melepas earphone-nya lalu menoleh ke arah si pecinta animasi, yang tengah sibuk bermain sebuah game di ponsel. Tangan si pemilik buku menoyor bahu temannya, pandangan bertanya dia berikan. Si pecinta animasi balik memberi pandangan bertanya, yang akhirnya hanya membuahkan kibasan tangan secara asal dari si pemilik buku. Niat bertanya agar tidak sesat di jalan, si pemilik buku memutuskan kalau lebih baik dia tersesat daripada harus bertanya pada orang tidak tahu jalan.

Hingga sekarang, kegiatan absurd mereka masih berlangsung sampai si pemilik buku menuangkannya di dalam lembaran kosong pada WordPress, sekedar untuk mengusir jaring laba-laba dan membersihkan tumpukan debu yang mulai bersemayam di sana.