Fragmen Kesembilan: Fakta

Wanita itu ambruk di hadapannya.

Dia hanya bisa mengawasi sementara degup jantungnya mengencang. Tubuh semampai itu kejang dan menggeliat di depan matanya. Memancarkan peri tak terkira yang tak sanggup dia bayangkan. Wanita itu kembali menggelepar. Membuat mantelnya tersingkap dan menampakkan kulitnya yang perlahan membiru. Bagaikan ruam hidup, yang menyebar dan merambat perlahan ke segala arah.

Ini bukan pertama kali baginya untuk melihat tubuh yang mengejang oleh maut.

Hanya saja, baru kali ini dia merasa darahnya seakan menguap. Baru kali ini dia bergetar di hadapan tangan kematian, mengucurkan peluh dingin. Desakan untuk melakukan sesuatu muncul di dalam dirinya, tetapi apa? Wanita itu berkata mereka akan terbang, namun dia tidak tahu apakah yang dimaksud wanita tersebut dengan menggunakan sayap atau hal lain.

Wanita itu menggeliat. Wajahnya berkeriut menahan sakit. Bulir-bulir keringat membasahi dahinya. Dia membeku ketika sepasang mata sebiru safir tersebut melotot ke arahnya. Mulut semerah delima itu komat-kamit, tapi dia tidak dapat mendengar apa pun. Hanya gemersik dedaunan serta desau angin.

Didengarnya suara tercekik. Menunduk, dia melihat wanita itu memuntahkan darah. Membuatnya tanpa sadar mundur selangkah. Lambungnya seakan terkocok, padahal ini juga bukan kali pertamanya melihat darah.

Dia mematung, tak tahu harus berbuat apa sementara wanita itu menggeliat bagaikan cacing.

Dia menangkupkan tangan di depan dada. “Ayah, apa yang harus kulakukan?”

Tatapannya jatuh ke arah benda berbentuk kotak dengan dua tali yang tergeletak tak jauh dari kakinya. Entah mengapa, dia merasa melayang. Seakan kontrol tubuhnya tengah diambil alih oleh sesuatu. Dia hanya bisa menonton ketika kakinya terangkat satu per satu, melangkah menuju benda yang tergeletak sembarangan tersebut.

Tiap langkahnya seakan dituntun. Perasaan yang sama seperti ketika ayahnya mengajari berjalan. Tubuhnya berhenti di bawah naungan pohon yang rindang. Punggungnya tertekuk. Tangannya terjulur meraih benda tersebut. Dengan kesadaran yang seakan bukan miliknya, dia memanggul benda itu di punggung sebelum berbalik dan meraih tubuh wanita yang masih mengejang diiringi suara-suara tercekik.

Dia tak tahu apa yang harus dilakukan, tetapi kekuatan yang tengah menuntunnya tahu. Dalam satu hentakan kaki, dia membumbung ke angkasa kelabu. Menembus dedaunan dengan suara gemeresak hebat.

Kekuatan itu menuntun ke mana dia pergi. Dia hanya bisa melihat, tahu jika sang Ayah mendengar doanya.

***

Langit kelabu mewarnai perjalanan Achten menuju Mabes Pertahanan.

Dia baru saja diperbolehkan keluar dari Rumah Perawatan setelah melalui serangkaian tes yang menyebalkan. Lebih dari tiga kali menjalani pemeriksaan darah, tes air kencing, masih disusul dengan tes kekuatan. Dia bisa saja menahan kekesalannya, kalau tidak mendengar kabar bahwa Ravine tidak bisa menjemput karena tugas luar.

Sekarang, yang dia inginkan adalah merecoki Keith sampai lelaki itu memberitahunya ke mana Ravine pergi. Sejak dahulu dia memang selalu memanfaatkan kepribadian ramahnya untuk memata-matai Ravine. Dan dia selalu mencari sasaran yang tepat. Keith Honovad adalah lelaki jujur dengan standar moral tinggi namun loyalitas kepada teman lebih tinggi. Mangsa empuk baginya.

Begitupun, belum tentu dia akan mendapatkan informasi secara cuma-cuma. Sederet protokol dinas akan menyulitkan pergerakannya. Mau tak mau, Achten tersenyum. Sudah dapat membayangkan reaksi kakaknya dengan jelas kalau dia berhasil mengorek informasi. Perempuan itu pasti mengumpatinya, berusaha sekuat tenaga untuk membuatnya tidak dapat melintasi gerbang Mabes Pertahanan sama sekali.

Begitulah Ravine. Kakak perempuannya itu begitu kaku sekaligus menggemaskan.

Dia menghela napas dan memandang ke luar jendela kereta, menatap cahaya senja kehijauan yang mulai menampakkan lariknya. Awan kelabu menghiasi langit sore ini, menyirami jalanan kota yang lengang dengan sinarnya. Suasana semarak kota menghilang, digantikan kesenyapan khidmat sebagai kekusyukan untuk perayaan, yang akan diadakan seminggu lagi.

Kedua manik biru Achten tanpa sengaja jatuh pada lukisan jalan yang sudah rampung. Seekor serigala berbulu perak dengan kedua mata emas, yang tengah mengaum. Di sampingnya, terlukis sebongkah permata dalam berbagai macam warna. Permata Kehidupan, sumber dari segala nyawa yang ada.

Bahkan setelah dua ribu tiga ratus tahun hidup dan memandangi lukisan yang sama, Achten tidak pernah merasakan secuil hormat. Permata Yang Agung tak lebih dari sebongkah mekanisme. Kehidupan ada karena benda itu mencoba bertahan dengan mengeluarkan sejumlah energi berlebih. Tak ada kepedulian di sana. Tidak ada penghargaan. Rasa hormat yang diberikan oleh setiap kehidpan di Dunia hanyalah sia-sia. Semua makhluk sejajar, tak lebih tinggi dari tumbuhan dan bakteri.

Tentu saja, dia tidak menaruh hormat terhadap Les Dakkar. Takdir baginya hanya isapan jempol belaka. Gema suara di pegunungan. Terdengar mistis, namun sesungguhnya tidak ada. Tanpa bermaksud merendahkan para Arces, Achten hanya merasa bahwa kepasrahan penuh adalah tindakan bodoh.

Salah satu hal yang dia rahasiakan dari Ravine.

Achten tahu, kakaknya itu tidak akan mengerti. Terutama setelah terjerumus terlalu dalam pada obsesi terhadap Farchen. Sampai sekarang, pun, Achten tidak mengerti nestapa yang dirasakan perempuan itu. Menyia-nyiakan nyawa hanya untuk menyusul pria terkasih lantaran para Arc mengatakan kalau hubungan mereka itu takdir—nyawa kakaknya terlalu berharga untuk omong kosong itu.

Kakak perempuannya yang tersayang; yang begitu terpaku terhadap satu hal saja. Pahlawannya. Satu-satunya perempuan yang takkan pernah mendengar degup jantungnya. Achten sudah memahami hal itu sejak lama. Semenjak Ravine membalikkan badan dan pergi dari rumah mereka, meninggalkannya dengan sang Ayah bertangan uranium.

Betapa dia merindukan masa kecil mereka berdua.

Dia tahu, sampai kapanpun, keinginan terdalamnya tidak bisa terwujud kecuali jika dia menyeberangi lautan Xiv dan terlahir kembali. Itu pun hanya kemungkinan kecil yang tak pantas diangan-angankan. Achten tertawa geli membayangkan kemungkinan konyol yang sama sekali tidak mungkin. Kemungkinan yang sudah lewat, yang tidak akan pernah lagi dia dapatkan.

Dari sudut matanya, Achten dapat melihat siluet Mabes Pertahanan. Lelaki itu tersenyum. Merasakan perasaan familiar melihat pilar utama yang  memantulkan bias hijau surya, membuat bendera semesta yang tengah berkibar gagah nampak menyatu dengan langit. Dia kontan membuka jendela ketika kereta tersebut mendekati gerbang Mabes. “Selamat petang,” sapanya ceria sembari menebar senyum. Penjaga gerbang yang dia kenali sebagai Yulas dan Ival segera membiarkan keretanya lewat.

Salah satu keuntungan serta kerugian menjadi adik Penjaga Semesta adalah popularitas. Bukannya dia menyombongkan diri. Achten tahu dengan jelas kalau pegawai-pegawai wanita di Mabes Pertahanan sering membicarakan dirinya di belakang. Bagaimana tidak, semua itu terlihat jelas. Wajah-wajah yang berbinar dengan semburat kemerahan. Bahasa tubuh yang malu-malu. Mulut-mulut ranum yang berbisik-bisik penuh hasrat tentang pikiran kotor mereka. Hal yang wajar bagi Achten Eire. Dia sudah menjadi sasaran hasrat seksual semenjak berumur lima puluh tahun.

Semua wanita telah jatuh ke dalam pesona seksualnya tanpa terkecuali.

Turun dari kereta, Achten segera menaiki tangga depan Mabes Pertahanan. Lelaki muda itu seketika disambut dengan dua wajah penuh senyum di meja depan. Menumpukan badan di meja yang menjadi penghalang, dia menyapa dengan ramah, “Hai.” Senyum penuh godaan tersungging di wajahnya, “Keith masih ada di kantornya?”

Kedua pegawai wanita tersebut mengangguk dengan wajah memerah. Salah satu dari mereka cepat-cepat menyodorkan kalung pengunjung kepadanya, yang diterima Achten dengan senang hati. “Terima kasih.” Dia melangkah pergi, yakin kalau kepergiannya seketika memancing rumor seru tentang ketampanannya.

Wajah Keith nampak tidak senang saat melihat Achten di ambang pintu. Lelaki muda berkacamata itu seketika menyembunyikan dokumen yang dia pelajari dan berdiri dari kursinya. “Kamu kenapa ada di sini?”

Achten mencibir, “Jangan begitu. Memang apa salahku mengunjungimu?” Melangkah masuk bahkan tanpa menunggu undangan, Achten menebarkan pandangan ke sekeliling. Ruangan persegi dengan dinding penuh hiasan serta lukisan.

Sekali lihat, siapa pun akan tahu kalau Keith adalah orang emosional dari banyaknya lukisan melankolis yang terpajang di sana. Sederet tanda penghargaan yang dipigura ataupun tersimpan di balik lemari kaca juga menyatakan pengakuan diri berlebihan.  “Acht,” didengarnya suara Keith yang sedikit melengking, “Kamu menyogok apa ke penjagaan depan?”

Achten membiarkan dirinya terkekeh, “Wajah tampanku ini anugrah,” sahutnya. Dari jendela lengkung di sisi barat, Achten dapat melihat senja yang mulai menghilang. Perlahan, bhostan-bhostan mulai memijarkan jingganya.

Dirasakannya pegangan Keith di lengannya. Dalam sekejap, Achten sudah terduduk di sofa merah empuk dengan Keith berada di sofa seberang. Wajah tirus itu dirundung lelah. Membuatnya menaikkan sebelah alis, “Kau kenapa, kalau kurang pelepasan aku bisa mengenalkanmu ke salah satu teman perempuanku.”

“Sialan kamu,” Keith menyahut kesal. Achten hanya tertawa sembari memandangi sahabatnya yang membenarkan tatanan rambut. “Buatku, hanya ada satu wanita di dunia ini, tahu.”

“Kakak?” Achten menopang dagu dengan tangannya, menahan senyum yang mengancam untuk nampak. Senyum yang pasti mewakili kebenciannya. “Setelah tujuh ratus tahun kau kerja dengan kakakku, akhirnya kau ketularan penyakitnya juga.”

Mendengar kata-katanya, rasa sedih muncul di wajah Keith. “Jangan begitu,” suara lelaki itu melembut. “Aku sudah tahu kalau dia tidak akan mau melihatku, Acht. Cinta Ravine pada Ignitie-ryv juga salah satu hal yang membuatku jatuh hati.”

Mendengus, Achten menggelengkan kepalanya. “Hal seperti itu kau sebut cinta?” Dia menyandarkan kepalanya, menatap langit-langit ruangan berhias lukisan sang Penjaga Takdir. Kembali dirasakannya kehampaan yang sama. Hampa yang membuatnya ingin menghancurkan ruangan ini tanpa sisa. Merobek-robek wajah sang Penjaga Takdir. Membuatnya nyaris terbahak. “Aku tidak paham, teman! Kalau dorongan yang sanggup membuat seseorang membuang nyawanya sendiri secara sia-sia itu kau sebut cinta, lalu kenapa kau tidak mati saja.”

Kedua alis Keith nampak bertaut mendengar kata-kata serta nadanya yang dingin. “Kamu mau bilang kalau omonganku hanya omongan kosong saja?”

“Memang cuma omong kosong,” Achten berucap geli, “Cinta—itu bukan cinta, teman. Itu hanya obsesi yang tercipta dari distorsi kenyataan dari perspektifmu, tak lebih dan tak kurang. Kau tidak pernah berhutang apa-apa terhadapnya sampai perlu mengorbankan nyawa. Kenapa tidak kau nikmati saja hidupmu.”

Dirasakannya tatapan tajam Keith. Achten hanya mengibaskan tangan di udara dengan tak acuh, “Tidak perlu menatap dengan cara mengerikan begitu, kau sudah lama tahu kalau aku selalu mencibir ‘cinta’ yang diomongkan kakakku.”

“Itu karena kamu tidak menyukai Ignitie-ryv, Acht,” Keith membalasnya kesal. “Menurutmu, Ignitie-ryv itu laki-laki kurang ajar, yang merebut kakakmu tercinta. Kamu tidak mencoba melihat dari sudut pandang Ravine, sih. Ignitie-ryv itu—“

“Penyelamatnya,” potong Achten dengan nada datar. “Harus berapa kali kudengar cerita basi itu? Bukan cuma kau, kakakku, sampai orang tuaku sebelum mati,” dia menggosok lehernya cepat. “Mengesalkan. Kalian semua berpikir dia lelaki luar biasa, memujanya nyaris seperti dewa. Tertipu topeng sempurnanya. Tidak sadar kebusukan di baliknya.”

Achten mengendikkan bahu saat Keith menguakkan protes. Dipandangnya lukisan sang Penjaga Takdir di langit-langit, mengutuk dan menghela napas bergantian. Namun, melihat wajah sahabatnya yang kusam, lelaki itu seketika mengumbar senyum. “Tak usah kau pikirkan, teman. Perasaanku ini, ya, urusanku sendiri,” ucapnya ringan.

Dilihatnya Keith menggelengkan kepala sembari memberinya tatapan muram, “Kamu harusnya paham kakakmu sendiri, Acht,” lelaki berkaca mata itu berucap. “Kamu adiknya.”

Mau tak mau Achten tertawa. “Baiklah, Keith. Baiklah, akan kucoba lebih baik lagi. Omong-omong, ke mana kakakku?” Dia kontan berdecak ketika melihat Keith menghela napas. “Aku tidak pantas tahu, rupanya.”

“Ini misi khusus,” Keith berbicara letih. “Dari Penjaga Takdir sendiri. Tapi, seharusnya, Ravine sudah sampai di sini malam ini. Entahlah, dia sama sekali tidak ada kontak dengan Mabes sejak kemarin.”

Achten menaikkan sebelah alisnya, “Tidak biasa.”

“Memang,” setuju Keith sembari memandangi berkasnya yang menumpuk tinggi. Hanya saja, lelaki itu tidak benar-benar melihat. Achten tahu kalau Keith tengah memikirkan kakaknya. “Aku takut Ravine kenapa-kenapa, Acht. Kamu tahu ras Po’em— Sialan.“ lelaki itu kontan mengutuki dirinya sendiri.

Achten ingin tertawa, kalau saja yang didengarnya itu salah. “Po’emus?” ulangnya serius. Dipandangnya Keith, yang menangkupkan kedua tangan pada wajah. Reaksi itu memberikannya sensasi dingin yang membuat bulu kuduk berdiri. “Po’emus di Hutan Lama? Hutan Lama yang itu?”

Keith memberinya tatapan seakan ingin menyangkal, tapi tidak bisa. Lelaki berkaca mata itu melepas kaca matanya, “Yah,” di bawah keremangan jingga bhostan, dilihatnya lelaki itu memijat pelipis lelah. Seakan beban seluruh dunia berada di kedua pundak tersebut. Menyentakkan akal sehatnya hingga putus.

“Jangan beri aku jawaban mengambang!” sentak Achten sembari menggebrak meja. Keith berjengit, tapi dia tidak peduli. “Katakan sekali lagi dengan tegas, kakakku pergi ke Hutan Lama yang itu karena tugas dari Eddien Les Dakkar?”

Dalam keremangan jingga bhostan, Achten melihat wajah pucat Keith. Melihat tatapan matanya yang bergetar. Sekilas, terbersit sebuah pertanyaan dalam benaknya—apakah Keith melihat tangan kematian? Karena dia merasa sanggup mengoyak lelaki di hadapannya dengan amarah.

Keith mungkin sungguh melihat tangan-tangan takdir. Suara lelaki itu pecah ketika berbicara. Getarnya tak dapat ditutup-tutupi lagi. “Ini tugas dari Yang Mulia Eddien Les Dakkar, Acht,” kedua manik kecokelatan itu berair di balik kaca matanya.

“Untuk apa?” menopang dagu dengan kesepuluh jemarinya, Achten memandang lelaki itu lekat-lekat. “Apakah ini soal pemusnahan Po’emus?”

“Memusnahkan ras Po’em!” Keith berseru melengking. “Tidak, tentu saja tidak! Memangnya sejak kapan ada pembicaraan seperti itu, Acht, jangan asal!”

Achten hanya diam. Membiarkan hening mengambang dengan berat di udara. Dia hanya menatap Keith dengan lurus, membiarkan lelaki itu menyurutkan emosinya agar paham betapa genting pertanyaan yang sedang dia ajukan.

Dilihatnya Keith menghela napas entah untuk keberapakalinya. “Aku tidak bisa mengatakan apa-apa, Acht. Protokol melarangku,” lelaki itu bergerak gelisah di bawah tatapannya, menghindar untuk menatap lurus. “Protokol tidak boleh dilanggar, nanti aku kena hukum kakakmu.”

Dia baru saja mendengus dan hendak berkata betapa ironis pernyataan itu ketika suara  lesatan kencang yang diiringi debam keras mendahuluinya. Baik dia maupun Keith segera berdiri dari sofa dan berlari menghampiri jendela. Suara itu terdengar sangat dekat.

Memonopoli jendela, Achten dapat melihat seantero pelataran barat Mabes Pertahanan. Dibantu cahaya bhostan serta dua ratus bulan yang tengah menaiki langit, dia dapat melihat siluet dua manusia tumpang tindih di bawah sana. Sejumlah penjaga nampak berlari dari pos masing-masing, bagai semut menemukan serpihan kue. Achten mengerutkan kening dengan kesal ketika Keith menggesernya paksa. “Kenapa tidak pakai jendela lain saja,” gerutu lelaki itu sebal sembari menjauh.

“Di sini paling jelas….” suara Keith memudar. Menciptakan keheningan yang membuatnya menoleh. Raut wajah lelaki itu nampak terkejut. “Acht! Lihat!”

“Kenapa?”

“Coba sini.” Achten menurut, mendekati sahabatnya yang masih melihat kejadian di bawah. “Coba kamu lihat itu, itu bukannya….”

Achten tidak dapat mendengar lanjutannya. Kesigapan lelaki itu seketika pecah. Dia membisu. Tangannya bergetar kencang hingga retakan tipis muncul di permukaan kaca jendela. Kondisi di sekelilingnya membaur menjadi sebuah pusaran warna yang tak terkendali. Tanpa mengindahkan suara Keith, dia berlari ke luar tergopoh-gopoh.

Dia melihat apa yang dilihat Keith. Terbungkus dalam mantel gelap yang sudah terkoyak. Genangan merah pekat yang mulai terbentuk di antara rerumputan membuatnya nyaris hilang kendali.

Kakaknya.

Achten terus berlari. Menuruni tangga dengan tergopoh-gopoh. Noda merah yang terus mengucur deras membuat keringat dinginnya menetes. Kakaknya yang tangguh, tergeletak tak berdaya di bawah sana.

Kakaknya.

Dalam sekejap, dia sudah mencapai lobi depan. Suara kaki Keith nyaris terdengar di belakangnya. Achten tidak dapat menunggu lagi. Segera disongsongnya pelataran merah temaram. Cahaya ratusan bulan bersinar terang di langit yang menghitam. Menerangi gerombolan penjaga yang mengelilingi kakaknya.

Suara kekhawatiran dan dikusi mengambang di udara. Anyir darah tercium olehnya. Dengan kasar, dia mendorong beberapa penjaga. Memberikan tatapan tajam sebagai balasan dari kekesalan yang menyeruak ke permukaan. Kepatuhan seketika jatuh di sana. Menyelubungi bagai awan gelap saat badai. Namun, dia tak memiliki waktu untuk itu semua.

Semua amarah itu meruncing saat dia melihat tubuh kakaknya tergolek lemas di dalam pelukan orang lain.

Achten tidak dapat melepaskan pandangannya dari perempuan itu. Bagian kanan wajah dan lehernya telah berubah warna menjadi biru kehitaman. Bulir-bulir peluh deras mengalir dari dahinya. Helaian anak rambut melekat erat di wajahnya. Napas perempuan itu terdengar berat dan terputus-putus.

Nyaris sama seperti keputusasaannya. Dia tahu kenapa kakaknya seperti itu. Ravine pasti sudah menggunakan Oufthblad. Senjata dewa yang memberikan kekuatan sekaligus menyerap kehidupannya. Semua demi menuntaskan pekerjaannya dengan baik.

Berlutut di samping kakaknya, Achten segera mengukur denyut perempuan itu. Kakaknya terasa sangat dingin. Detak jantungnya terasa lemah. Segera direbutnya tubuh perempuan itu ke dalam pelukannya, “Di mana tim penyembuh!” sembur lelaki marah. Tubuh di dalam rengkuhannya mengejang sementara bercak biru itu menyebar semakin luas. Dia menggeram kencang, menoleh ke arah pegawai dan penjaga Mabes Pertahanan dengan kedua mata hitam yang menyala-nyala. “Di mana mereka!”

“Mereka dalam perjalanan,” sahut seseorang dengan panik. Achten melihat Keith datang dengan napas tersengal. Wajah lelaki itu terkejut. Mereka saling berpandangan sesaat sebelum Keith ikut berlutut di samping Ravine.

Achten segera menampik tangan Keith yang terjulur ke arah kakaknya. “Tim penyembuh,” bentaknya. “Bawa mereka ke sini, Keith. Sekarang!”

Tepat saat itu juga, sebuah kereta-becak dengan lambang medis nampak di ujung jalan. Achten bangkit dengan sigap. Kedua tangannya melingkari tubuh perempuan itu dengan lebih erat. Entah sejak kapan, pandangannya mengabur oleh air mata. “Bertahanlah, kak,” bisik lelaki itu dengan suara menahan amarah. “Selamatlah.”

Diiringi decit kencang, kereta itu berhenti. Kedua pintunya menjeblak terbuka, empat petugas berseragam putih dengan lini biru turun tergopoh-gopoh. Achten melangkah maju, membiarkan seorang lelaki mengambil alih Ravine dari dalam dekapannya. Dia menatap petugas bersergam di hadapannya dengan tajam, “Sembuhkan dia,” ujarnya penuh penekanan. Petugas itu berjengit sesaat lalu buru-buru meninggalkannya.

Achten mengawasi hingga kereta-becak yang ditarik oleh seekor coppresia itu menghilang dari pandangan. Emosinya masih bergulung-gulung bagai lautan diterpa badai sewaktu lelaki itu membalikkan badan dan menghadapi sekitar enam pegawai Mabes Pertahanan yang berdiri mematung di belakangnya. Serta Keith, yang tengah memandangi sosok, yang datang bersama Ravine, tanpa berkedip.

Dia tiba-tiba menyadari kalau wajah itu nampak sangat akrab baginya. Achten hanya bisa terpaku. Seluruh kekhawatirannya menguap drastis, melesat menembus malam bersama deru angin yang terdengar bagaikan tawa licik sekaligus dendangan elegi. Saat sosok tersebut maju, seluruh emosinya menyergap bagai tusukan ribuan jarum.

Bagaimana orang itu bisa ada di sini?

Berdiri di hadapannya, sosok lelaki yang begitu dia kenali. Nampak lebih muda, lebih bugar tanpa ada luka sedikit pun. Achten tidak dapat mempercayai matanya sendiri ketika memandang ke dalam kedua manik sehitam batu permata tersebut. Lelucon macam apa lagi yang diinginkan Les Dakkar kali ini?

Lelaki itu seharushnya sudah mati.

Lelaki itu menatapnya lurus dengan cara yang begitu diingat Achten. Tatapan congkak sekaligus penasaran terarah kepadanya. “Ada apa?”

Kebencian seketika menyeruak dalam dirinya. Suara itu. Achten tidak ingin percaya. Farchen seharusnya sudah mati. Tapi, lelaki itu berdiri di hadapannya saat ini. Bergeming dengan cara yang amat dikenali Achten. Memandang dengan cara yang amat diingatnya. Bersuara sama. Seperti dulu, ketika dia masih hidup.

Terbayang olehnya, tahun demi tahun setelah kematian lelaki itu. Bagaimana kakaknya bersedih. Menolak makan. Mengurung diri di kamar. Tak ingin menemuinya. Hanya keluar untuk pergi ke nisan lelaki itu. Tatapan kosong Ravine menghantuinya sampai ke alam mimpi. Betapa dia ingin mencabik-cabik lelaki itu sekarang. Mencekik Farchen hingga mati. Memastikan lelaki itu tidak ada lagi di Dunia ini. Usahanya selama ini untuk memberikan kebahagiaan pada kakaknya terancam hancur.

Hanya karena eksistensi lelaki itu.

Tapi, apa haknya?

Achten menelan ludah dengan berat. Dia bukan apa-apa. Hanya adik. Dia yang paling tahu kakaknya, lebih daripada orang lain, bahkan lebih dari lelaki di hadapannya. Karena itu dia akhirnya memutuskan untuk tersenyum. “Kak Farchen masih hidup, rupanya,” ucap lelaki itu, sekuat tenaga menjaga agar suaranya tak bergetar. Degub jantungnya menggedor-gedor kepala. “Kenapa tidak pernah menghubungi? Apa ini salah satu tugas dari Yang Mulia Eddien Les Dakkar?”

Hening menyusul kata-katanya. Tidak ada satupun yang bersuara. Bahkan angin berhenti berhembus, seakan ingin ikut mendengarkan. Achten benar-benar tidak tahan dengan kenyataan itu. Alam seakan ikut menertawai kebodohannya. Ditatapnya lelaki itu, menekan gejolak kebencian yang mengancam untuk keluar.

Dilihatnya lelaki itu menelengkan kepala. “Hidup, ya? Benar juga.” Suara baritonnya yang berat terselubung aksen daerah utara. “Kau benar, ini….” lelaki itu menebarkan pandangan ke sekelilingnya. “Tugas, atau begitulah.” Tersenyum simpul, lelaki itu kembali melanjutkan, “Kurasa, ini waktunya berkata ‘aku sudah kembali’?”

Achten tidak tahan lagi. Dia hanya sanggup mematri senyum sementara api dalam dirinya berkobar semakin besar. Sebelumnya, dia tidak pernah yakin apakah dia membenci lelaki yang telah mengubah kakaknya itu atau tidak. Malam ini, nyaris seribu tahun setelahnya, dia tahu jawaban tersebut.

“Selamat datang kembali, Kak Farchen,” ucapnya penuh kekalahan.

Fragmen Kesepuluh: Elegi

Tinggalkan komentar