Arsip Tag: thoughts

Racun

Mereka berdua tampak cocok bersanding seperti itu.

Tidak usah, lah, meminta seorang manusia untuk menyetujui opini ini. Cukup beri kesempatan bagi kecerdasan buatan yang marak di dunia maya untuk menilai fakta yang terpampang di depan mata. Liriklah ponsel dan temukan opini kecerdasan buatan, yang terkadang lebih manusiawi daripada manusia sendiri. Lihat, mereka menyetujui opini ini.

Mirisnya, kamu adalah pacar lelaki itu.

Terkadang, memang ada beberapa kenyataan yang sebaiknya tersimpan rapat-rapat dari pengetahuanmu. Bukan karena kamu terlalu bodoh untuk memahaminya. Jangan salah paham. Kamu, sebagai manusia yang dikoar-koarkan adalah makhluk tersempurna ciptaan Yang Maha Kuasa, mampu untuk memahaminya. Tetapi, terkadang, pemahaman itu hanya akan meruntuhkan nyalimu.

Meruntuhkan kewarasanmu.

Dan tak ada yang lebih miris daripada kehilangan tempat untuk berpijak. Yakin, lah. Aku berbicara seperti ini karena sudah mengalaminya sendiri. Pengetahuanmu akan fakta, yang seharusnya tak terungkap, akan meruntuhkan logikamu. Menderamu dengan nestapa. Meracunimu dengan skeptisme yang berujung ketidakpercayaan.

Begitu dalam racun itu berakar di dalam hatimu, hingga memuntahkannya tak akan lagi menyembuhkan jiwamu. Racun itu sudah merasuk begitu dalam. Bercokol dalam sanubarimu. Sepercik tinta hitam yang merusak semua warna putih milikmu.

Celakanya, racun itu abadi. Infinite. Gan teorainn. Apalah. Sebut saja sesukamu, yang penting kamu mengerti itu. Karena, seperti kataku di atas, kamu mengerti kenyataan yang seharusnya tak kamu mengerti. Dan dengan pengertianmu yang seperti ini, kamu akan mengerti beratnya beban yang harus kamu tanggung saat kukatakan racun itu abadi.

Aku tahu kamu pasti sudah bergidik saat ini. Menggeleng untuk menolak kenyataan yang tidak ingin kamu ketahui. Sayangnya, kamu tidak bisa lari dari kenyataan ini. Kamu sudah memilih untuk membuka kotak Pandora, dan tidak ada pilihan mundur bagimu.

Ijinkan aku menjelaskan semuanya, agar kamu paham betul kemalangan yang kamu bawa kepada dirimu sendiri. Mari kita mulai dari fakta yang kamu ketahui saat ini: mereka berdua tampak cocok bersanding seperti itu.

Serapi kata-kataku barusan, dan rasakan kembang racun yang mulai berkembang di dalam dirimu.

Haha.

Tidakkah kamu sadari alam bawah sadarmu yang mulai meliuk-liuk di udara, seperti ular kobra yang mengikuti nada seruling tuannya? Seringai licik racun itu memancingmu untuk menyicipi dirinya. Kamu mulai jatuh ke dalam lubang tanpa dasar. Membuka sedalam-dalamnya dirimu untuk menerima sakit tak terperi yang datang bersama pikiran-pikiran terburukmu.

Silakan tahan dirimu. Yakin, lah, racun itu baru memulai serangan serbuknya. Dan aku, hadir untuk membantumu sadar betapa bodohnya kamu karena telah membuka kotak Pandora itu. Sekarang, mari kita lihat lagi kenyataan lain yang telah kamu tahu tentang mereka: mereka berdua sudah berkenalan lebih lama, jauh lebih lama, dibanding kamu mengenal kekasihmu itu.

Hahahaha!

Sudahkah kamu merasakan betapa jiwamu menciut? Betapa akal sehatmu mulai memberontak dari tugasnya untuk menyajikan logika? Bahkan, saat kau suntikkan logikamu, yang kamu sembah lebih tinggi daripada dirimu sendiri, kamu tak dapat menampik sensasi sengatan panas di kedua pelupuk matamu.

Jangan membohongiku dengan berkata kamu baik-baik saja. Aku tahu kamu diam-diam mulai membandingkan dirimu dengan perempuan itu. Aku tahu jiwamu yang rapuh mulai retak perlahan-lahan saat kamu menyadari bahwa dirimu jauh lebih buruk daripada perempuan itu. Kamu, dengan sifat egoismu. Kamu, dengan tendensi-tendensi burukmu. Kamu, dengan semua ketakutanmu yang selalu kamu simpan rapat-rapat.

Jangan pula kamu melirikku dengan tatapan penuh dendam kesumat seperti itu. Tugasku menyadarkanmu, tak lebih dan tak kurang. Masalah aku menertawaimu—itu kesenanganku, urusanku, bukan urusanmu.

Ya, ya, kekasihmu memang mencintaimu. Kalau tidak, untuk apa dia mengajakmu jadian? Tapi, kamu sendiri sadar, permasalahannya bukan di situ. Permasalahannya adalah kekuranganmu yang begitu kamu benci, sampai-sampai kamu menyalahkan seluruh dunia; sampai kamu memaki Yang Maha Esa karena kesalahanmu sendiri.

Hahahahahahaha!

Sekarang, mari kuberi tahu sesuatu yang, menurutku, akan membuatmu lebih siap untuk hidup bersama racun itu selamanya. Kenapa terkejut? Kamu kira, untuk apa kusebutkan kata abadi tadi, kalau racun itu bisa kamu hilangkan?

Dekatkan telingamu dan siapkan hatimu.

Di masa mendatang, kamu akan mulai mencari tahu lebih dalam tentang perempuan ini. Kamu akan mencari dan terus mencari, dengan segala macam cara yang sanggup terpikirkan olehmu. Bahkan, saat kamu tahu kamu membencinya, pencarianmu ini takkan berhenti. Karena kamu terlalu mengerti hal yang seharusnya tak kamu mengerti.

Dan racun ini abadi.

Maka dari itu, siapkan hatimu untuk menerima luka. Siapkan tenagamu untuk membenci dirimu sendiri. Tegakkan kepalamu meski air mata mengalir di pipimu. Solusi? Tak ada. Khusus untukmu, jalan keluar hanyalah fatamorgana di padang gersang. Karena kamu terlalu mengerti hal yang seharusnya tak kamu mengerti.

Semoga kamu siap dengan itu semua.

Diriku di masa lalu.

A Remind of Cinderella

Kamu memandangnya lekat, lalu tertawa.

Rambutmu yang sepanjang pundak menari sewaktu angin berhembus lumayan kencang. Di antara debu pasir yang menghambur di pelataran parkir ini, kamu berdiri tenang, berhadapan dengannya yang juga tengah tersenyum ke arahmu. Seringaimu lebar, menikmati candaan sarkasme yang hanya dimengerti oleh kalian berdua.
Kalian tampak cocok bersama, bersanding seperti itu, memandang satu sama lain sembari melupakan orang-orang lain di dunia ini. Rokokmu yang sudah terbakar setengah kamu hisap pelan, sementara membiarkan dia membalas ucapan sinismu yang sebelumnya. Lagi-lagi tawamu berkumandang di pelataran parkir ini, melupakan petugas parkir serta penjaga kampus yang ikut duduk-duduk tak jauh dari tempat kalian berdua berdiri.
Lebih tepatnya, kamu mengabaikan mereka semua. Perhatianmu sungguh-sungguh teralih kepada dia, yang memang begitu memukau. Dengan akrabnya kalian saling bertukar senyum, bersitatap seolah tak pernah puas, bercanda dan tertawa bersama. Kamu terlihat begitu bahagia, begitu lepas sampai-sampai kamu melupakan ‘topeng’ yang biasanya kamu gunakan.

Candaan kalian seolah tak pernah habis. Kamu terus-terusan tertawa, mengejeknya dengan sarkasme yang begitu rapi tanpa celah hingga dia hanya bisa memaki sembari tertawa pelan. Lagi, kamu membuang puntung rokokmu yang sudah habis dan menyalakan yang baru; gerakanmu begitu sistematis seolah kamu tak lagi menyukai kegiatan itu, hanya melakukannya seperti kewajiban.

Dirimu yang belum pernah dilihat oleh siapapun di kampus ini, kini terbuka begitu saja sejak kedatangannya yang tidak sengaja itu. Kamu yang tadinya begitu periang namun tertutup, kini menyuarakan segala aspek dalam hidupmu dengan cara yang tak pernah sanggup dibayangkan. Seluruh stok candaanmu, kamu keluarkan kepadanya.

Beginilah kamu yang sebenarnya. Kamu sungguh-sungguh seperti kepiting, terlihat tapi tak sanggup didekati oleh siapa pun. Jika ada satu saja dari orang, yang tak kamu inginkan, melewati batas yang sudah kamu tentukan, kamu akan mencapitnya tanpa ampun. Siapapun itu, tak peduli jenis kelamin, umur dan ras.

Dia tiba-tiba mengeluarkan ponselnya dari saku celana jeans, lalu merangkul pundakmu. “Say cheese!” serunya dengan ceria. Kamu tersenyum miring dan membiarkan dia mengabadikan momen pertemuan kalian setelah berbulan-bulan lamanya terpisah.

Lagi, kalian tertawa gembira saat melihat hasil foto itu. Lagi, kamu tertawa kencang sembari mengomentari wajahnya di foto itu. Kalian saling sikut penuh keramahan, saling ejek dengan santai, saling memaki dengan bahagia.

“…Kakak kayak bencong, sih!” suaramu yang rendah itu membahana di pelataran parkir kampus ini, bersama tawamu yang benar-benar menunjukkan kebahagiaan, lain dari yang biasanya kamu perdengarkan pada orang-orang di kampus ini. Raut wajahmu terang oleh rasa senang tak terbendung, memandangi lawan bicaramu yang kini memukul pelan kepalamu dengan kepalan tangannya. “Ya udah, House of Scherz aja, lah, yuk!” ajakmu dengan riang gembira.

Sambutannya membuatmu menyeringai. Dia mengacungkan jempolnya tanda setuju, membuatmu tertawa kencang. Lalu kamu memberinya tanda menunggu dan berjalan ke arah bangku beton tempat kamu menaruh tasmu yang sedari tadi sudah tergeletak begitu saja, terlupakan sejak kedatangannya yang membuatmu sibuk dengan segala macam candaan gila kalian berdua.

Dan dia memanggilmu. Membuatmu, yang sedang sibuk merapikan barang bawa, seketika menoleh ke arahnya. “Kamu ngingetin aku sama cerita Cinderella, dek,” dia berujar sembari memandangi ponselnya yang, sepertinya, masih menampilkan foto kalian berdua.

Kamu mengerutkan kening, jelas-jelas menunjukkan kebingunganmu. “Kok bisa?” tanyamu balik, masih setengah menoleh ke arahnya.

Dia meringis, menunjukkan deretan giginya yang sempurna seperti dalam iklan-iklan komersial pasta gigi di televisi. “Kalo jam udah berdentang duabelas kali, apa aku bisa nemu pemilik ‘sepatu kaca’nya, ya?” balasnya sembari memandangmu lekat.

Kamu mendengus geli, menggelengkan kepalamu pelan, mengerti bahwa dia merujuk ke kebiasaanmu yang sering begitu saja pergi menghilang saat sudah berjauhan dengan orang yang menganggapmu penting. “Itu terserah kamu, kak,” balasmu dengan suara yang cukup kencang untuk terdengar olehnya.

Kali ini, dia mengerutkan kening. Sungguh-sungguh tak mengerti dengan jawaban yang kamu berikan. “Maksudnya?” dia bertanya, menatapmu yang kini sudah menyandingkan tas di salah satu bahumu lalu berbalik ke arahnya.

Kamu bergeming di tempatmu berdiri, menyunggingkan senyum miringmu yang khas. “Terserah kamu, kak,” lanjutmu dengan suara rendah yang mantap sekaligus sedikit menggoda. Lagi-lagi, dirimu yang sebenarnya terkuak di hadapan seluruh penjaga pelataran parkir kampus ini. Kamu bersitatap dengannya, diam beberapa saat untuk membiarkan dia menatapmu sembari meresapi senyummu yang begitu menantang. “Toh, pada dasarnya, Cinderella nggak pakai sepatu kaca; dia pakai sepatu kayu.”

Hening sejenak.

Desau angin mengiringi tawa kalian yang meledak bersamaan. Kamu tertawa, berjalan ke arahnya dengan langkah tegas lalu bertanya, “House of Scherz?”

Dia mengangguk lalu berjalan menuju motornya sendiri, sementara kamu menaiki motormu sendiri. Derum motor kalian meraung bersamaan, sekaligus dengan keberadaan kalian yang lenyap begitu saja bersamaan dengan hamburan pasir serta debu.